BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Puisi adalah kata yang sangat familiar dalam kehidupan sehari-hari, tetapi setiap kali diminta untuk menjelaskan pengertian puisi, sering kali dijumpai kesulitan. Banyak sekali ragam puisi sehingga rumusan pengertian puisi menjadi beragam pula. Pengertian puisi yang diterapkan pada bentuk puisi yang lain. Perumusan pengertian puisi itu sendiri tidaklah penting. Yang utama adalah mampu memahami dan menikmati puisi yang ada.
Secara etimologi, kata puisi berasal dari bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poesis ‘pembuatan’ dan dalam Inggris poem atau poetry. Puisi diartikan membuat dan pembuatan karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan dunia sendiri. Dunia itu berisi pesan atau suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun nonfisik.
Menurut Caulay (dalam Aminuddin, 2002:134-135) puisi merupakan bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi. Seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna yang menggambarkan gagasan pelukisnya. Puisi menggunakan daya ilusi dan imajinasi yang mengungkapkan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Ilusi dan imajinasi yang membangun puisi merupakan kenyataan. Fakta social dan politik yang sedang terjadi dalam kurun waktu dan budaya tertentu. Sehingga, meskipun menggunakan daya ilusi dan imajinasi sebagai kekuatan penciptaannya, puisi tetap berpijak pada kenyataan social dan politik.
Salah satu elemen estetika paling penting dalam puisi adalah bunyi. Merupakan elemen puisi untuk menciptakan keindahan musik dan kekuatan ekspresif, untuk membangkitkan suasana dan memperdalam makna. Tanpa permainan bunyi, sebuah puisi kehilangan separuh nyawanya. Goenawan Mohamad mengatakan bahwa puisi tidak cuma kata, tak cuma kalimat. Ia juga nada, bunyi, bahkan keheningan.
Faktor permainan bunyi – selain semiotik dan ekstrinsik – merupakan salah satu faktor yang membuat puisi tidak mungkin bisa diterjemahkan. Hanya bisa disadur. Hanya bisa ditulis ulang ke dalam gaya bahasa penerjemahnya. Walau maknanya mungkin masih utuh, namun nilai rasanya bisa jadi tak lagi menyentuh.
Permainan bunyi meliputi asonansi dan aliterasi (pengulangan bunyi dalam kata berurutan), rima (persajakan) dan irama (tinggi rendah, panjang pendek dan keras lembut pengucapan).
Bahasa di dalam sajak pada hakikatnya adalah bunyi. Bunyi yang dirangkai dengan menggunakan pola tertentu, dengan mengikuti konvensi bahasa tertentu. Jika sebuah sajak dibacakan maka yang pertama-tama yang tertangkap oleh telinga sesungguhnya adalah rangkaian bunyi. Hanya karena bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa, maka bunyi itu sekaligus mengandung makna.
Bunyi di dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi-bunyi berperan menentukan makna, maka didalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut menetukan nilai estetis sajak.
Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar didalam penciptaan sajak. Sebelum sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi di dalam sajak tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat sajak ketika berhadapan dengan sajak yang diciptakan. Dengan demikian, sugesti dalam diri pembaca dan penikmat sajak juga tidak akan muncul.
Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan penekanan, dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu. Mendengar bunyi jangkerik malam hari akan menimbulkan efek semakin terasa sepinya malam, suatu keheningan. Mendengar suara kicau burung yang bersahut-sahutan dipagi hari, akan membangkitkan suasana riang, sedangkan mendengar suara lolongan anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam yang membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal dari hewan tersebut secara konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami maknanya, tetapi dari suasana yang diciptakan dapat dirasakan kesannya. Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan yang dapat dirasakan kesannya. Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan yang dapat membangkitkan keindahan dan kepuitisan, juga ikut berperan membentuk suasana yang mempertajam makna. Bunyi sekaligus menimbulkan daya saran yang efektif dan memancing sugestif.
Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi vocal dan konsonan jika dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama. Bunyi yang berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya bunyi music dan melodi.
Bunyi music inilah yang diharapkan dapat menimbulkan dan membangkitkan imajinasi, memberikan sugesti, serta menciptakan kepuitisan dan keindahan. Sajak berikut memanfaatkan unsur bunyi tertentu. Pemanfaatan bunyi konsonan pada akhir setiap baris sajak berikut ini menyarankan ‘sesuatu’ dan terasa begitu sugestif.
Soni Farid Maulana lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. Lulus dari sebuah Sekolah Menengah Atas di kotanya, ia melanjutkan studinya dijurusan teater STSI Bandung. Dimasa mahasiswanya inilah Soni mulai menulis puisi. Soni banyak menulis tema kesepian dan kesunyian disamping tema-tema politik, masalah social, agama, tema-tema yang kerap muncul dalam puisinya dan menjadi koleksi dari kehidupan sehari-hari. Sejumlah puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Jerman serta dipublikasikan dalam Anthology Of Winternachten Festival (Den Haag 1999) dan Orientierungen (2/2000, Universitat Bonn Jerman). Buku-bukunya yang telah diterbitkan adalah di luar mimpi/outside dreams (PT Gitamendia Multiprakarsa, 1997) and Kita Lahir Sebagai dongeng/we born as a Fairy Tale (Indonesia Tera, 2000). Karya-karyanya juga dimuat dalam sebuah Anthology, antara lain; Gelak Esay dan Ombak Sajak/The Laughter Essay and the Wave Of Poem (Kompas 2001); Soni Farid Maulana sudah beberapa kali diundang membaca puisinya oleh dewan kesenian Jakarta dan tampil membacakan puisinya di taman Ismail Marzuki. Ia diunadang sebagai peserta pertemuan sastrawan Asia Tenggara di Queezoon City Filipina, 1990 dan The Winteema Chten Poetry Festival di Belanda 1999. Sejak 1989 ia bekerja sebagai wartawan kortan Pikiran Rakyat, Bandung.
Adapun puisi-puisi Soni Farid Maulana yang dikaji ada 5, yaitu: Diluar Mimpi, Kau, Literatur Seorang Buruh Pabrik di Tengah Gemuruh Kota Jakarta, Kubur Sunyi, dan Paris La Nuit.
1.2 Masalah
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah Bunyi Dalam Sajak-sajak Soni Farid Maulana.
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Bunyi Dalam Sajak-sajak Soni farid Maulana.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang Bunyi Dalam Sajak-sajak Soni Farid Maulana.
2. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang Bunyi Dalam Sajak-sajak Soni Farid Maulana.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Puisi
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
1. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
2. Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
3. Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
4. Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
5. Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).
6. Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
Unsur-unsur Puisi
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.
1. Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.
2. Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
3. Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.
4. Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
5. Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3) bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun, 1989:6).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima). Djojosuroto (2004:35) menggambarkan sebagai berikut.
Berdasarkan pendapat Richards, Siswanto dan Roekhan (1991:55-65) menjelaskan unsur-unsur puisi sebagai berikut.
Struktur Fisik Puisi
Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
1. Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
2. Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
3. Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
4. Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
5. Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
6. Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
Struktur Batin Puisi
Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
2. Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
3. Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
4. Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
2.2 Bunyi Dalam Sajak
Bunyi dalam sajak adalah salah satu sarana kepuitisan disamping sarana lain.Sebagian keindahan sajak terletak pada bunyi.Bunyi mempunyai tenaga ekspresif, sementara nilai sebuah sajak sebagai karya seni yang kekuatannya terletak pada kekuatan ekspresi yang total dan tandas.Bunyi sajak tidak terlepas dari diksi.Bunyi sebagai sarana musikalitas dalam dalam sajak diciptakan dengan sadar.Bunyi yang muncul secara teratur dan berulang itu sebenarnya adalah kemampuan penyair secara sadar dalam mencari, menemukan, memilih, dan bahkan menciptakan kata-kata yang mempunyai persamaan atau pertentangan bunyi. Bunyi yang menetaskan unsure musikalitas sajak menimbulkan irama ritem. Irama sajak identik dengan intonasi, yaitu penempatan tekanan tertentu pada kata. Bunyi pada sajak tidak akan pernah melampaui bunyi yng dilambangkan dengan huruf.
1. Irama
Irama adalah segala sesuatu yang mampu menimbulkan gerakan dalam sukma manusia yang teratur dan terpola.Irama sajak hanya dapat ditentukan oleh bunyi bunyi yang tersusun rapi, yang terpola serta suasana sajak. Membicarakan masalah irama, pada hakikatnya membicarakan permasalahan music juga. Soalnya, meskipun irama erat hubungannya dengan bunyi, irama tidak identik dengan bunyi itu sendiri. Irama bukan hanya sekedar bunyi belaka, tetapi lebih dari itu. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana.
Dengan demikian, irama tidak hanya tercipta di dalam sajak dengan pola-pola bunyi yang teratur, namun juga oleh suasana yang tercipta. Suasana melankolis akan menyebabkan tempo lambat pada sajak tersebut. Suasana meledak-ledak akan menyebabkan tekanan dinamik tinggi.
2. Kakafoni dan efoni
Efoni adalah bunyi yang menyenangkan dapat memperlancar penguapan, ia bersifat musical. Sedangkan kakafoni adalah bunyi bunyi parau yang tidak menyenangkan, serta tidak musical. Pemakaian atau penciptaan rima, aliterasi, dan asonasi oleh penyair bertujuan untuk menimbulkaan efek efoni. Sebaliknya pemakaian atau penciptaan bunyi bunyi berat, kasar, dan tidak musikalitas bertujuan untuk menimbulkan efek kakafoni. Kombinasi bunyi bunyi merdu , biasanya digunakan untuk menimbulkan kesan indah, damai, perasaan senang, kasih sayang, cinta, mesra, dan lain lain. Secara teoritis, kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkaikan berasal dari konsonan tak bersuara seperti /k/, /p/, /t/, /s/. penggunaan bunyi konsonan tersebut menciptakan perasaan jiwa yang tertekan, gelisah, bahkan yang memuakkan. Karena menggambarkan perasaan yang demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan suasana buram.
Kesan suasana cerah muncul karena bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal dari bunyi vocal serta konsonan bersuara. Kesan ini juga dapat dihadirkan dengan memanfaatkan bunyi sengau yang dirangkai sedemikian rupa. Bunyi sengau itu ditata sehingga menimbulkan kesan merdu dan enak didengar.
3. Anomatope
Menurut Kridalaksana (1982), onomatope sdalah penamaan benda atau perbuatan dengan peniruan bunyi yang dikloasiasikan dengan benda atau perbuatan.
Istilah anomatope menurut Kamus Besar istilah Sastra (Sudjiman, 1984:54) adalah penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang. Istilah lain dari anomatope aini adalah tiruan bunyi.
Seperti diungkapkan di atas, peniruan bunyi itu dapat dilakukan atau dihasilkan oleh barang, maka “kleneng genta”, “gemericik air pancuran”, “desau angin”, “derap langkah kuda” atau “kukuruyuk”, “cicit”, adalah anomatope. Penggunaan tiruan bunyi seperti hal diatas, sering ditemukan di dalam sajak.
4. Aliterasi dan Asonansi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi dalam satu rangkaian kata kata yang berdekatan, dalam satu baris, berupa bunyi konsonan. Sedangkan asonansi adalah bunyi vocal. Keduanya baru disebut aspek bunyi yang penting, kalau muncul keduanya secara terpola dan dominan. Aliterasi dan asonansi berfungsi untuk menimbulkan kesan tertentu dan bahkan merupakan style bagi seorang penyair.
Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. Pengulangan bunyi yang dapat dikategaorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan.
Halnya sama dengan aliterasi, asonansi adalah pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini adalah kemerduan bunyi.
5. Anaphora dan epifora
Anafora ialah pengulangan bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada larik larik atau kalimat kalimat yang berurutan untuk memperoleh efek tertentu(Kridalaksana,1982). Sedangkan menurut Shipley (1985) ialah suatu ulangan pola bunyi diawal baris. Pada anafora yang ditekankan adalah persamaan atau pengulangan kata, dan persamaan bunyi, serta persamaan struktur atau susunan kata. Epifora ialah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Majas epifora merupakan majas repetisi atau perulangan yang cara melukiskannya dengan menempatkan kata atau kelompok kata yang sama di belakang baris dalam bentuk puisi secara berulang (Suprapto, 1991 : 27).
BAB III
METODE DAN JENIS PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan.karena objek penelitian ini berupa puisi karya Soni Farid Maulana, dengan menekankan analisis pada kajian bahasa bermajas dengan data-data yang diambil berupa bahan-bahan atau referensi yang mendukung seperti buku, dan internet. Adapun metode yang digunakan adalah metode deskriptif, karena tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan bunyi-bunyi dalam sajak yang terdapat dalam puisi Soni Farid Maulana.
3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tulisan yakni sajak-sajak milik Soni Farid Maulana yang terdapat dalam kumpulan puisi Horison.
3.2.2 Sumber Data
Data dalam penelitian ini bersumber dari kumpulan puisi Horison.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang digunakan yang sesuai dengan metode dalam penelitian ini adalah:
1. Teknik baca, yaitu proses pengambilan data dengan menggunakan puisi-puisi karya Soni Farid Maulana.
2. Teknik catat, yaitu digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap perlu pada saat pengambilan data.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data adalah teknik struktural. Yang dimaksud dengan struktur disini adalah mencakup analisa tentang bahasa bermajas dalam sajak-sajak Soni Farid Maulana. Penelitian ini bersifat deskriptif sehingga berdasarkan analisis ini diperoleh pemahaman mengenai bunyi-bunyi yang dominan dalam puisi tersebut.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Adapun puisi-puisi Soni Farid Maulana yang dikaji adalah sebagai berikut:
Diluar mimpi
Kelak jiwaku yang dalam
Tak punya lagi bayangan jika berjalan
Di bawah matahari atau terang lampu;
Jiwaku adalah sinar itu sendiri.
Pada baris dan bait puisi yang kau tulis
Akan kau kenal dengan baik suaraku;
Bagaimana aku menembang juga menimbang
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian
Jadi larik-larik hujan yang turun sore hari
Dengan amat lembutnya. Larik-larik itu diam-diam
Menumbuhkan benih kerinduan dalam dadamu
padaku. Lalu bagai dentang lonceng pagi
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian; tanpa ragu
Mengguncang ranjangmu dari balik jendela.
Kau
Memang di musim salju
Tak ada bunga kuncup walau sepucuk
Tapi di dasar kalbuku; kau setangkai angkuli
Mekar sudah.
Malam hanya angin dingin
Mengetuk-ngetuk jendela kamarku,
Menggigilkan pepohonan. Tapi bara
yang kau taruh dalam hatiku; berkobar
Menjelma api, menghangatkan pikir dan rasa
Mencairkan gairah hidupku yang nyaris beku
Sepadat baku. Dilain waktu kau adalah arus air
Mendenyutkan sungai yang dikerontangkan
Terik matahari. Kau arah yang kutuju
Bebas dari kehancuran.
2001
Seorang Buruh Pabrik di Tengah Gemuruh Kota Jakarta
Tuhan Yang Maha Pemurah telah kuhayati lembaran koran kuning
Di tengah gemuruh Kota Jakarta, memberikan seribu kemungkinan
Padaku untuk bunuh diri
Setelah berita gerak beton dan baja dan film dan video kaset
Semakin menggesitkan pacarku jadi pelacur jalan.
Kota terus mengusik benakku. Menumbuhkan pikiran tanpa hati
membentang keasinganku. Akan hidup. Akan bahasa
kupelihara warna pakaian
Status dan kehormatan menjelma kuburan tanpa kembang kambung.
Tuhan Yang Maha Bijaksana sepanjang jalanku, matahari berkobar
Pabrik-pabrik terus menderu. Tanpa henti memeras rasa gula
dari tebuh jiwaku. Lihat, kengerian yang tumbuh dalam bola mataku
Beribu singa yang lapar mengaung sepanjang tanah perburuan
Hingga darah, dendam dan dengki sakti menggemerincingkan ajal
Karna yanga tak perna berubah rupa bungkus sejarah moyangku!
Aku tersedu. Aku seru keseimbangan cakrawala
Suaraku terlintas radio bernyanyi. Terlintas kemiskinan ya ng tetap
Menjadi warna hidupku. Keserakahan terus merampokku
Sampah ruhaniku yang berlumur cinta pun: berontak, menggeserkan
Batu-batu, yang diam dan angkuh di dasar kali kehidupan.
Kubur Sunyi
Setiap hari kita selalu bercakap
Tentang anak-anak, rumpun mawar, juga posisi
Ranjang yang diubah letaknya
Semua keriangan tersendiri bagi kita.
Sungguh tak terlintas dalam percakapan kita
Pada suatu hari nanti
Raga ini bakal berpisah dengan nyawa.
Berpisah bagai bb yang dicopat dan tubuhmu
Dan dilempar begitu saja
Kelantai yang kotor dan berdebu.
Percakapan kita tentang kanak-kanak
Rumpun mawar, juga posisi ranjang
Yang diubah letaknya:
Akan jadi kubur sunyi bagi jiwa
yang di tinggalkan.
Paris La Nuit
Dua jam yang lalu
Di Brasserie Lipp sambil minum anggur
Kutunggu Charles Baudclaire,
Ia tak kunjung datang dari negeri kelam.
Omongan balau, asap rokok,
Juga sebaris imaji yang liar melintas di situ.
Dalam beranjak tua mengenakan mantelnya
Dengan hitam bergaris angin musim dingin.
Sepanjang Saint-Germain
Lampu menyala. Kata dan lagu asing
Menyerbu pendengaranku.
Cahaya bulan dan bintang disapu kabut.
Langkah kakiku terasa penat, naik terun
Menandakan nilai-nilai berduri maut.
Sebab hidup mengalir ke hilir
Sebab bahagia dan derita tipis batasnya
Sekali lagi dalam hawa yang dingin
Kuteguk anggur merah.
Perlahan dan sangan perlahan di hadapan
Terbang dunia tak di kenal membuka
Cahayannya lebih sunyi dari seribuh lampu
Yang menyala sepanjang Saint-Germain
Manusia lalu di sana, seperti katamu,
Menyebrangi hutan lambang.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Puisi Pertama “Diluar Mimpi”
Diluar mimpi
Kelak jiwaku yang dalam
Tak punya lagi bayangan jika berjalan
Di bawah matahari atau terang lampu;
Jiwaku adalah sinar itu sendiri.
Pada baris dan bait puisi yang kau tulis
Akan kau kenal dengan baik suaraku;
Bagaimana aku menembang juga menimbang
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian
Jadi larik-larik hujan yang turun sore hari
Dengan amat lembutnya. Larik-larik itu diam-diam
Menumbuhkan benih kerinduan dalam dadamu
padaku. Lalu bagai dentang lonceng pagi
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian; tanpa ragu
Mengguncang ranjangmu dari balik jendela.
1997
1. Irama
Pada puisi Soni Farid Maulana yang berjudul Diluar Mimpi Irama yang dimaksudkan hadir pada saat puisi itu sedang dibacakan atau dilantunkan dalam bentuk musical, namun saat masih dalam bentuk tulisan irama belum tercipta. Jadi, bunyi irama pada puisi yang berjudul Diluar Mimpi tidak tercipta.
2. Kakafoni dan Efoni
Puisi Diluar Mimpi karya Soni semua kata dan setiap barisnya menggunakan bunyi-bunyi Efoni, seperti:
Kelak jiwaku yang dalam (efoni)
Tak punya lagi bayangan jika berjalan (efoni)
Di bawah matahari atau terang lampu;(efoni)
Jiwaku adalah sinar itu sendiri.(efoni)
Pada baris dan bait puisi yang kau tulis (efoni)
Akan kau kenal dengan baik suaraku; (efoni)
Bagaimana aku menembang juga menimbang (efoni)
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian
Jadi larik-larik hujan yang turun sore hari (efoni)
Dengan amat lembutnya. Larik-larik itu diam-diam (efoni)
Menumbuhkan benih kerinduan dalam dadamu (efoni)
padaku. Lalu bagai dentang lonceng pagi (efoni)
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian; tanpa ragu (efoni)
Mengguncang ranjangmu dari balik jendela. (efoni)
Puisi diatas, bunyi dan maknanya menunjukkan bunyi-bunyi efoni karena merupakan bunyi yang menggambarkan kelembutan dan kasih sayang. Misalnya: Dengan amat lembutnya. Larik-larik itu diam-diam menumbuhkan benih kerinduan dalam dadamu. Dalam puisi ini tidak terdapat bunyi kakafoni karena bunyi dan maknanya tidak menggambarkan suasana keburukan, tidak menyenangkan, kacau balau, dan lain-lain.
3. Anomatope
Pada puisi diatas, tidak terdapat bunyi-bunyi anomatope yang berupa bunyi tiruan binatang, benda atau manusia.
4. Aliterasi
Puisi diatas tidak terdapat pengulangan huruf-huruf konsonan, karena penulis tidak menghadirkan pendekatan aliterasi didalamnya.
5. Asonansi
Puisi diatas terdapat bunyi berulang asonansi yang mengulang huruf vocal yaitu a, contohnya: bayangan jika berjalan, ketiga kata tersebut terdapat huruf vocal a.
6. Anaphora dan epifora
Puisi karangan Soni diatas tidak memanfaatkan bunyi-bunyi anaphora dan epifora dimana bunyi anaphora adalah bunyi sajak yang berulang-ulang dalam bentuk linguistik yang sama yang berada diawal larik, sedangkan bunyi epifora bunyi ulang yang mengulang bunyi linguistik diakhir larik.
4.2.2 Puisi kedua “Kau”
Kau
Memang di musim salju
Tak ada bunga kuncup walau sepucuk
Tapi di dasar kalbuku; kau setangkai angkuli
Mekar sudah.
Malam hanya angin dingin
Mengetuk-ngetuk jendela kamarku,
Menggigilkan pepohonan. Tapi bara
yang kau taruh dalam hatiku; berkobar
Menjelma api, menghangatkan pikir dan rasa
Mencairkan gairah hidupku yang nyaris beku
Sepadat baku. Dilain waktu kau adalah arus air
Mendenyutkan sungai yang dikerontangkan
Terik matahari. Kau arah yang kutuju
Bebas dari kehancuran.
1. Irama
Seperti pada puisi pertama, puisi kedua ini pun tidak menggunakan bunyi irama karena pada hakikatnya berbicara masalah irama sama saja berbicara masalah music juga, jadi pada puisi ini tidak menggunakan pendekatan bunyi irama.
2. Kakafoni dan efoni
Pada puisi Soni Farid Maulana yang berjudul “Kau” terdapat bunyi-bunyi efoni dan kakafoni, seperti dibawah ini:
Memang di musim salju (efoni)
Tak ada bunga kuncup walau sepucuk (kakafoni)
Tapi di dasar kalbuku; kau setangkai angkuli (efoni)
Mekar sudah. (kakafoni)
Malam hanya angin dingin (efoni)
Mengetuk-ngetuk jendela kamarku, (seimbang)
Menggigilkan pepohonan. Tapi bara (efoni)
yang kau taruh dalam hatiku; berkobar (efoni)
Menjelma api, menghangatkan pikir dan rasa (efoni)
Mencairkan gairah hidupku yang nyaris beku (efoni)
Sepadat baku. Dilain waktu kau adalah arus air (efoni)
Mendenyutkan sungai yang dikerontangkan (efoni)
Terik matahari. Kau arah yang kutuju (efoni)
Bebas dari kehancuran. (efoni)
Puisi diatas lebih cenderung menggunakan bunyi-bunyi efoni, akan tetapi ada beberapa bait yang menggunakan bunyi kakafoni, seperti:
Tak ada bunga kuncup walau sepucuk
Mekar sudah
Penggalan puisi diatas menggunakan bunyi kakafoni akan tetapi bermakna efoni karena menunjukkan suatu keadaan yang menyenangkan. Selain itu ada juga baris yang seimbang bunyinya yaitu kakafoni dan efoni, seperti: Mengetuk-ngetuk jendela kamarku, bait puisi ini menggunakan bunyi efoni dan kakafoni akan tetapi maknanya adalah efoni, jadi bunyi baris puisi tersebut adalah efoni.
3. Anomatope
Pada puisi diatas yang berjudul “Kau” tidak terdapat bunyi anomatope karena penulis tidak menghadirkan tiruan-tiruan bunyi binatang, tumbuhan ataupun manusia.
4. Aliterasi dan asonansi
Pada puisi “Kau” karya Soni Farid Maulana ada beberapa baris puisi yang menggunakan bunyi secara berulang-ulang, seperti: kuncup walau sepucuk, Mengetuk-ngetuk jendela kamarku, kutipan baris puisi disamping merupakan bunyi asonansi karena mengulang bunyi-bunyi vocal u. Sedangkan baris-baris yang lain pada puisi “Kau” tidak terdapat bunyi-bunyi aliterasi yaitu pengulangan bunyi-bunyi konsonan.
5. Anaphora dan epifora
Pada puisi karya Soni Farid Maulana diatas yang berjudul “Kau” tidak terdapat bunyi-bunyi anaphora maupun epifora karena tidak terdapat pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik maupun akhir larik.
4.2.3 Puisi ketiga “Seorang Buruh Pabrik di Tengah Gemuruh Kota Jakarta”
Seorang Buruh Pabrik di Tengah Gemuruh Kota Jakarta
Tuhan Yang Maha Pemurah telah kuhayati lembaran koran kuning
Di tengah gemuruh Kota Jakarta, memberikan seribu kemungkinan
Padaku untuk bunuh diri
Setelah berita gerak beton dan baja dan film dan video kaset
Semakin menggesitkan pacarku jadi pelacur jalan.
Kota terus mengusik benakku. Menumbuhkan pikiran tanpa hati
membentang keasinganku. Akan hidup. Akan bahasa
kupelihara warna pakaian
Status dan kehormatan menjelma kuburan tanpa kembang kambung.
Tuhan Yang Maha Bijaksana sepanjang jalanku, matahari berkobar
Pabrik-pabrik terus menderu. Tanpa henti memeras rasa gula
dari tebuh jiwaku. Lihat, kengerian yang tumbuh dalam bola mataku
Beribu singa yang lapar mengaung sepanjang tanah perburuan
Hingga darah, dendam dan dengki sakti menggemerincingkan ajal
Karna yanga tak perna berubah rupa bungkus sejarah moyangku!
Aku tersedu. Aku seru keseimbangan cakrawala
Suaraku terlintas radio bernyanyi. Terlintas kemiskinan ya ng tetap
Menjadi warna hidupku. Keserakahan terus merampokku
Sampah ruhaniku yang berlumur cinta pun: berontak, menggeserkan
Batu-batu, yang diam dan angkuh di dasar kali kehidupan.
1. Irama
Seperti pada puisi sebelumnya, puisi kedua ini pun tidak menggunakan bunyi irama karena pada hakikatnya berbicara masalah irama sama saja berbicara masalah music juga, jadi pada puisi ini tidak menggunakan pendekatan bunyi irama.
2. Kakafoni dan efoni
Pada puisi Soni Farid Maulana yang berjudul “Seorang Buruh Pabrik di Tengah Gemuruh Kota Jakarta” banyak menggunakan huruf-huruf efoni, seperti di bawah ini:
Tuhan Yang Maha Pemurah telah kuhayati lembaran koran kuning (efoni)
Di tengah gemuruh Kota Jakarta, memberikan seribu kemungkinan (efoni)
Padaku untuk bunuh diri (efoni)
Setelah berita gerak beton dan baja dan film dan video kaset (efoni)
Semakin menggesitkan pacarku jadi pelacur jalan. (efoni)
Kota terus mengusik benakku. Menumbuhkan pikiran tanpa hati (efoni)
membentang keasinganku. Akan hidup. Akan bahasa (efoni)
kupelihara warna pakaian (efoni)
Status dan kehormatan menjelma kuburan tanpa kembang kambung. (efoni)
Tuhan Yang Maha Bijaksana sepanjang jalanku, matahari berkobar (efoni)
Pabrik-pabrik terus menderu. Tanpa henti memeras rasa gula (efoni)
dari tebuh jiwaku. Lihat, kengerian yang tumbuh dalam bola mataku (efoni)
Beribu Singa yang lapar mengaung sepanjang tanah perburuan (efoni)
Hingga darah, dendam dan dengki sakti menggemerincingkan ajal (efoni)
Karna yanga tak perna berubah rupa bungkus sejarah moyangku! (efoni)
Aku tersedu. Aku seru keseimbangan cakrawala (efoni)
Suaraku terlintas radio bernyanyi. Terlintas kemiskinan yang tetap (efoni)
Menjadi warna hidupku. Keserakahan terus merampokku (efoni)
Sampah ruhaniku yang berlumur cinta pun: berontak, menggeserkan (efoni)
Batu-batu, yang diam dan angkuh di dasar kali kehidupan. (efoni)
Semua bunyi-bunyi diatas menunjukkan bunyi-bunyi efoni akan tetapi maknanya menunjukkan makna kakafoni karena dalam puisi tersebut tergambar suasana yang berantakan, suram dan yang lainnya, contohnya: Suaraku terlintas radio bernyanyi. Terlintas kemiskinan yang tetap menjadi warna hidupku. Keserakahan terus merampokku. Kutipan disamping menggambarkan suasana hati seseorang yang miskin, menderita, dan serakah. Oleh karenanya puisi masih kontradiksi.
3. Anomatope
Pada puisi Soni Farid Maulana diatas terdapat pemanfaatan bunyi anomatope, yaitu tiruan bunyi singa, contohnya: Singa yang lapar mengaung sepanjang tanah perburuan. Peniruan bunyi pada bait ke-4 tersebut mengundang imajinasi pembaca kepada suasana yang kejam seperti kekejaman Singa yang sedang mengaung ketika sedang lapar, begitulah penulis menggambarkan suasana Kota Jakarta. Suasana ternyata dengan mudah diciptakan dengan pemanfaatan bunyi-bunyi yang tepat seperti pemanfaatan bunyi anomatope.
4. Aliterasi
Pada puisi diatas tidak memanfaatkan bunyi aliterasi, yaitu pengulangan bunyi konsonan.
5. Asonansi
Puisi diatas penulis menghadirkan bunyi asonansi yaitu pengulangan bunyi vocal, seperti: Tuhan Yang Maha Bijaksana sepanjang jalanku, matahari berkobar. Penggalan puisi disamping memanfaatkan pengulangan vocal a, akan tetapi puisi diatas tidak dominan menggunakan pendekatan bunyi asonansi.
6. Anaphora dan epifora
Pada puisi diatas tidak terdapat pengulangan bunyi kata yang sama diawal larik, akan tetapi terdapat pengulangan bunyi kata yang sama diakhir larik, seperti: membentang keasinganku. Akan hidup. Akan bahasa, penggalan puisi disamping disebut epifora karena mengulang kata akan diakhir larik.
4.2.4 Puisi ke-empat “Kubur Sunyi”
Kubur Sunyi
Setiap hari kita selalu bercakap
Tentang anak-anak, rumpun mawar, juga posisi
Ranjang yang diubah letaknya
Semua keriangan tersendiri bagi kita.
Sungguh tak terlintas dalam percakapan kita
Pada suatu hari nanti
Raga ini bakal berpisah dengan nyawa.
Berpisah bagai bb yang dicopat dan tubuhmu
Dan dilempar begitu saja
Kelantai yang kotor dan berdebu.
Percakapan kita tentang kanak-kanak
Rumpun mawar, juga posisi ranjang
Yang diubah letaknya:
Akan jadi kubur sunyi bagi jiwa
yang di tinggalkan.
1. Irama
Seperti pada puisi sebelumnya, puisi kedua ini pun tidak menggunakan bunyi irama karena pada hakikatnya berbicara masalah irama sama saja berbicara masalah music juga, jadi pada puisi ini tidak menggunakan pendekatan bunyi irama.
2. Kakafoni dan efoni
Pada puisi Soni Farid Maulana yang berjudul “kubur sunyi” lebih dominan menggunakan bunyi efoni, seperti dibawah ini:
Setiap hari kita selalu bercakap (efoni)
Tentang anak-anak, rumpun mawar, juga posisi (efoni)
Ranjang yang diubah letaknya (efoni)
Semua keriangan tersendiri bagi kita. (efoni)
Sungguh tak terlintas dalam percakapan kita (efoni)
Pada suatu hari nanti (efoni)
Raga ini bakal berpisah dengan nyawa. (efoni)
Berpisah bagai bb yang dicopat dan tubuhmu (efoni)
Dan dilempar begitu saja (efoni)
Kelantai yang kotor dan berdebu. (efoni)
Percakapan kita tentang kanak-kanak (efoni)
Rumpun mawar, juga posisi ranjang (efoni)
Yang diubah letaknya: (efoni)
Akan jadi kubur sunyi bagi jiwa (efoni)
yang di tinggalkan. (efoni)
Puisi diatas semua lariknya menggunakan bunyi efoni akan tetapi ada beberapa larik yang bunyinya efoni akan tetapi maknanya kakafoni, contohnya sebagai berikut:
Raga ini bakal berpisah dengan nyawa. (efoni)
Berpisah bagai bb yang dicopat dan tubuhmu (efoni)
Dan dilempar begitu saja (efoni)
Kelantai yang kotor dan berdebu. (efoni)
Penggalan puisi diatas bermakna efoni karena menggambarkan suasana yang kurang baik. Jadi pada puisi Soni Farid Maulana yan berjudul “Kbur Sunyi” ini masih kontradiksi antara bunyi dan makna.
3. Anomatope
Puisi karya Soni Farid Maulana di atas tidak menggambarkan adanya bunyi anomatope karena tidak terdapat bunyi-bunyi tiruan benda, binatang atau manusia.
4. Aliterasi
Pada puisi Soni Farid Maulana di atas yang berjudul “Kubur Sunyi” tidak terdapat bunyi-bunyi aliterasi karena di dalamnya tidak ada pengulangan bunyi-bunyi konsonan.
5. Asonansi
Sama seperti aliterasi, pada puisi Soni Farid Maulana juga tidak terdapat bunyi-bunyi asonansi karena di dalamnya tidak ada pengulangan bunyi-bunyi vocal.
6. Anaphora dan epifora
Puisi karya Soni Farid Maulana yang berjudul “Kubur Sunyi” tidak terdapat bunyi anaphora dan epifora karena didalamnya tidak ada pengulangan bunyi dalam bentuk kata atau bentukan linguistic pada awal dan akhir paragraph.
4.2.5 Puisi kelima “Paris La Nuit”
Paris La Nuit
Dua jam yang lalu
Di Brasserie Lipp sambil minum anggur
Kutunggu Charles Baudclaire,
Ia tak kunjung datang dari negeri kelam.
Omongan balau, asap rokok,
Juga sebaris imaji yang liar melintas di situ.
Dalam beranjak tua mengenakan mantelnya
Dengan hitam bergaris angin musim dingin.
Sepanjang Saint-Germain
Lampu menyala. Kata dan lagu asing
Menyerbu pendengaranku.
Cahaya bulan dan bintang disapu kabut.
Langkah kakiku terasa penat, naik terun
Menandakan nilai-nilai berduri maut.
Sebab hidup mengalir ke hilir
Sebab bahagia dan derita tipis batasnya
Sekali lagi dalam hawa yang dingin
Kuteguk anggur merah.
Perlahan dan sangan perlahan di hadapan
Terbang dunia tak di kenal membuka
Cahayannya lebih sunyi dari seribuh lampu
Yang menyala sepanjang Saint-Germain
Manusia lalu di sana, seperti katamu,
Menyebrangi hutan lambang.
1. Irama
Seperti pada puisi sebelumnya, puisi karya Soni Farid Maulana yang berjudul “Paris La Nuit” ini pun tidak menggunakan bunyi irama karena pada hakikatnya berbicara masalah irama sama saja berbicara masalah music juga, jadi pada puisi ini tidak menggunakan pendekatan bunyi irama.
2. Kakafoni dan efoni
Pada puisi karya Soni Farid Maulana yang berjudul “Paris La Nuit” cenderung menggunakan bunyi-bunyi efoni, seperti dibawah ini:
Dua jam yang lalu (efoni)
Di Brasserie Lipp sambil minum anggur (efoni)
Kutunggu Charles Baudclaire, (efoni)
Ia tak kunjung datang dari negeri kelam. (efoni)
Omongan balau, asap rokok, (kakafoni)
Juga sebaris imaji yang liar melintas di situ. (efoni)
Dalam beranjak tua mengenakan mantelnya (efoni)
Dengan hitam bergaris angin musim dingin. (efoni)
Sepanjang Saint-Germain (efoni)
Lampu menyala. Kata dan lagu asing (efoni)
Menyerbu pendengaranku. (efoni)
Cahaya bulan dan bintang disapu kabut. (efoni)
Langkah kakiku terasa penat, naik terun (efoni)
Menandakan nilai-nilai berduri maut. (efoni)
Sebab hidup mengalir ke hilir (efoni)
Sebab bahagia dan derita tipis batasnya (efoni)
Sekali lagi dalam hawa yang dingin (efoni)
Kuteguk anggur merah. (kakafoni)
Perlahan dan sangan perlahan di hadapan (efoni)
Terbang dunia tak di kenal membuka (efoni)
Cahayannya lebih sunyi dari seribuh lampu (efoni)
Yang menyala sepanjang Saint-Germain (efoni)
Manusia lalu di sana, seperti katamu, (efoni)
Menyeberangi hutan lambang. (efoni)
Puisi diatas hampir semua lariknya menggunakan bunyi-bunyi efoni. Ada beberapa larik yang berbunyi efoni akan tetapi bermakna kakafoni seperti:
Menyerbu pendengaranku. (efoni)
Cahaya bulan dan bintang disapu kabut. (efoni)
Langkah kakiku terasa penat, naik terun (efoni)
Menandakan nilai-nilai berduri maut. (efoni)
Penggalan puisi diatas bermakna kakafoni karena menggambarkan suasana yang buruk dan perasaan jiwa yang gelisah. Pada puisi ini masih kontradiksi karena berbunyi efoni tapi bermakna kakafoni.
3. Anomatope
Puisi diatas berjudul “Paris La Nuit” tidak terdapat bunyi anomatope karena penulis tidak menghadirkan tiruan-tiruan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak atau hewan.
4. Aliterasi
Pada puisi “Paris La Nuit” tidak terdapat bunyi aliterasi karena di dalamnya tidak ada pengulangan huruf konsonan.
5. Asonansi
Pada puisi “Paris La Nuit” terdapat beberapa larik yang menggunakan bunyi asonansi, seperti:
Dengan hitam bergaris angin musim dingin.
Sebab hidup mengalir ke hilir
Penggalan puisi di atas menggunakan bunyi asonansi yang mengulang huruf vocal i.
6. Anaphora dan epifora
Pada puisi karya Soni Farid Maulana yang berjudul “Paris La Nuit” tidak menggunakan bunyi-bunyi anaphora dan epifora, karena didalamnya tidak terdapat pengulangan kata yang sama pada awal larik dan diakhir larik.
4.3 Deskripsi Hasil
Pada puisi-puisi karya Soni Farid Maulana yang berjudul Diluar Mimpi, Kau, Literatur Seorang Buruh Pabrik di Tengah Gemuruh Kota Jakarta, Kubur Sunyi, dan Paris La Nuit, banyak menggunakan bunyi-bunyi efoni dari pada kakafoni, akan tetapi puisi-puisi karya Soni ini masih kontradikasi karena bunyi dan makna berbeda. Ada beberapa larik puisi yang berbunyi efoni akan tetapi penulis menghadirkan makna kakafoni.
Pada puisi Soni Farid Maulana, ia tidak banyak menghadirkan bunyi-bunyi anomatope yang berupa bunyi-bunyi tiruan suara, gerak hewan, manusia, barang dan yang lainnya. Soni juga tidak menghadirkan bunyi-bunyi aliterasi pada puisi-puisinya, sedangkan ia lebih banyak menghadirkan bunyi asonansi yang berupa pengulangan bunyi-bunyi huruf vocal.
Pada puisi-puisi Soni, ia tidak menghadirkan pengulangan bunyi anaphora yang berupa pengulangan bunyi-bunyi dalam kata yang sama diawal larik, sedangkan ia lebih menghadirkan pengulangan bunyi diakhir larik yaitu epifora.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Pada puisi-puisi Soni Farid Maulana, ia lebih banyak menggunakan pendekatan bunyi efoni daripada kakafoni. Ini menunjukkan bahwa penulis lebih menyukai hal-hal yang berkaitan dengan keindahan dari pada suasana yang buruk dan tidak menyenangkan. Akan tetapi penulis juga menghadirkan hal-hal yang kontradiksi. Terbukti ada beberapa larik dari puisi-puisi karya Soni yang bunyinya berbeda dengan maknanya.
Pada puisi-puisi Soni terdapat tiruan-tiruan bunyi binatang, manusia dan yang lainnya, ini semua menjadikan puisi-puisi tersebut lebih indah.
Soni juga tidak menghadirkan bunyi-bunyi aliterasi yaitu pengulangan huruf-huruf konsonan yang dominan, ia lebih senang menghadirkan pengulangan bunyi-bunyi huruf vocal yang disebut dengan asonansi.
Penulis lebih senang menghadirkan bunyi epifora yaitu pengulangan bunyi dalam kata yang sama diakhir larik daripada anaphora yang pengulangan bunyi katanya berada diakhir larik.
Secara keseluruhan, Soni Farid Maulana senang menggunakan bunyi efoni, anomatope, aliterasi dan epifora.
5.2 Saran
1. Sebaiknya para penyair puisi dapat mempergunakan setiap bunyi-bunyi dalam setiap sajak puisinya agar puisi lebih hidup dan mempunyai nilai estetika yang lebih.
2. Sebaiknya bagi para penikmat puisi lebih memperdalam pengetahuan tentang bunyi-bunyi dalam sajak, agar dapat memahami suatu karya dari segala aspek yang membangun karya itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar