Nama : Deasy Rahmawati Tirayoh
Nomor Stambuk : A1D1 02 033
Program Studi : Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Dan Daerah
Judul Penelitian : Potret Wanita Dalam Novel Harga Seorang Wanita Karya Februana (Kajian Sosiofeminis)
Dosen Pembimbing :1. Drs. Ahid Hidayat, M.Hum. 2. Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum.
Tahun Skripsi : 2009
ABSTRAK
Dunia sastra tidak terlepas dari cakupan pendidikan, dalam hal ini menganalisis teks-teks sastra khususnya novel sebagai bentuk apresiasi terhadap perkembangan kesusastraan di Indonesia. Menganalisis salah satu unsur ekstrinsik yaitu melalui kajian sosiofeminis pada novel Harga Seorang Wanita karya penulis Indonesia bernama Februana, berupaya menguak gejala pendeskriminasian yang lahir dari patriarkisme di Indonesia khususnya di pulau Jawa. Merupakan bentuk apresiasi terhadap dunia sastra sekaligus terhadap kaum wanita, dua hal tersebut yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan.
Masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah potret dalam novel Harga Seorang Wanita serta bagaimana penggambaran yang seharusnya berdasarkan teks novel tersebut dan ideologi apa yang membentuk penggambaran tersebut dalam kajian sosiofeminis?”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana potret wanita dalam novel Harga Seorang Wanita serta bagaimana penggambaran yang seharusnya berdasarkan teks novel dan ideologi yang membentuk penggambaran tersebut dalam kajian sosiofeminis.
Penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah unsur patriarkisme yang membentuk penggambaran tokoh wanita dalam kajian sosiofeminis. Sumber data dalam penelitian ini adalah data tulis berupa teks novel Harga Seorang Wanita karya Februana serta data tertulis lainnya yang mendukung penelitian ini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiofeminis yaitu suatu pendekatan yang mengarahkan fokus analisis pada penggambaran wanita dalam teks sastra serta bagaimana penggambaran yang seharusnya berdasarkan teks dan ideologi yang membentuk penggambaran tokoh wanita dalam novel Harga Seorang Wanita karya Februana.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Emansipasi dalam sastra adalah pelepasan diri perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan perempuan untuk berkembang dan maju. Sungguh wajar jikalau fakta yang kemudian muncul dalam penulisan bergenre “dunia perempuan” terdapat perspektif yang tidak sepenuhnya terbebas terhadap bias gender sebab bagaimanapun juga novel-novel yang ditulis oleh penulis laki-laki mengandung kegemangan wacana, berbeda jika tema perempuan ditulis oleh perempuan sendiri. Asumsi ini memang tidak sepenuhnya bisa dibuktikan kebenarannya. Tetapi dengan maraknya perkembangan wacana yang mengarah ke persoalan gender serta kecenderungan pengangkatan tema perempuan bukan oleh perempuan pada akhirnya menanggung beban “maskulinitas” di dalamnya. Karena (a) menindaki secara lugas mengenai perempuan bukan terbatas hanya pada tubuh dan seksualitasnya saja, tetapi juga pada esensi perempuan itu sendiri secara psikologis, fisik, dan sosial kemasyarakatannya. (b) membidik persoalan perempuan ternyata tidak bisa melalui perspektif sepihak, dan (c) realitas telah menyiratkan netapa jamaknya kehidupan perempuan yang tertangkup dalam jaring-jaring maskualinisme dan konteks multidimensional dan perempuan sulit membuka diri dan bersuara (Sukri, 2001:66).
Mengenai bias gender yang sering hadir dalam karya sastra Indonesia, sesungguhnya pokok persoalannya berakar pada bagaimanakah memposisikan feminisme tanpa terpolarisasi secara langsung oleh maskualinisme yang berimbas pada ketimpangan wacana, yakni pihak perempuan secara diam-diam terhegemoni atau sekurang-kurangnya regulasi feminisme haruslah murni, tidak terkoordinasi oleh kaum laki-laki. Kemudian bagaimana menyimak lebih dalam lagi yakni melakukan perlawanan terhadap ketimpangna tersebut. Dengan kata lain, bagaimna kedmudian “politik wacana perempuan” tampil lebih berimbang dalam konstalasi sastra (Suwandi, 2003:22).
Selain itu ada fakta lain yang menunujukkan bahwasanya dalam karya sastra dalam rentang waktu berabad lamanya, perempuan digambarkan dengan cara yang sama yaitu mereka mematuhi kodrat, pasrah dalam hubungannya antara jenis kelamin, dan cenderung bersifat pasif dan tanpa pilihan (Arivia 2005:128).
Hal ini misalnya terdaoat pada novel ketiga Februana dengan judul Harga Seorang Wanita dengan gambaran dunia perempuan Jawa khususnya Yogyakarta. Penulisnya memampangkan dengan lugas polemik perempuan pelosok Jawa yang termarginalkan, dibumbuhi dengan mitos-mitos, sejarah, adat-istiadat dalam kehidupan masyarakatnya. Berdasarkan hal tersebut peneliti berasumsi bahwa gambaran wanita dalam novel Harga Seorang Wanita Karya Februana merupakan sketsa fiksi yang relevan dengan kehidupan nyata sehingga dapat dianalisis sebagai sebuah bentuk teks sastra. Selain akan membuka akses bagi para penulis muda, juga memberi kesempatan tidak hanya untuk insan sastra Indonesia semata, melainkan juga khalayak luas yang inigin menjenguk khasanah budaya Jawa dalam kubu-kubu penceritaan kisah yang disuguka oleh seorang Februana. Dengana adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah sastra utamanya pada aspek kritik dan esai kesusastraan Indonesia.
1.2 Kajian Teori
1.2.1 Novel
Menjadikan novel sebagai objek penelitian bukanlah hal baru. Meskipun demikian, novel banyak diteliti sebagai karya sastra daripada sebagai alat komunikasi. Penelitian tentang novel sebagai karya naratif fiktif sudah banyak dilakukan. Berbagai istilah dilakukan orang untuk menyebut kajian atas novel sebagai teks, misalnya analisis teks, semiotika, puitik, analisis stilistika, struktural, dan sejumlah nama lain lagi. Ini membuktikan bahwa kajian novel sebagai teks naratif fiktif memang masih mencari bentuknya yang lebih mapan (Hoed, 1992:15).
Novel adalah rangkaian teks fiksi. Ada anggapan bahwa teks fiksi identik dengan teks khayalan, atau teks yang menyajikan sesuatu secara tidak langsung berkorespondensi satu persatu dengan kenyataan aktual. Tentu saja anggapan ini tidak serta merta menjadikan teks fiksi sepenuhnya adalah kebohongan. Dalam satu segi, menurut Art Van Zoest (Hidayat, 2006:48) fiksi juga mengungkapkan kebenaran.
Novel adalah jenis sastra dari Eropa yang muncul dari kaum Borjuis di Inggris di pertengahan abad 18. Novel adalah produk masyarakat yang terpelajar, mapan, kaya, yang punya cukup waktu luang untuk menikmatinya. Di Indonesia masa subur novel terjadi pada tahun 1970-an yakni ketika cukup banyak golongan pembaca wanita dari golongan menengah-atas terpelajar (Sugihastuti, 2003:12)
Dalam ranah sastra, terutama novel dan cerpen selain tema “dunia perempuan” yang cukup diminati dan mendapatkan tempat, ada hal lain yang signifikan dilirik, yaitu semakin mencuatnya “warna budaya”. Sejauh ini budaya tetap mendapat tempat eksklusif dimata sastrawan warna budaya (Susanto, 1992:143).
1.2.2 Wanita Indonesia
Pertama-tama dapatlah kita merujuk pada segi pengertian emansipasi yang kurang lebih dapat dimaknai sebagai evolusi manusia dan lebih dipopulerkan oleh perempuan karena proses evolusi ini sebagian besar adalah pembebasan diri dari cengkraman penindasan serta pembebasan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki (Whertheim, 1976:98). Dengan demikian, kita dapat lebih memberi privatisasi terhadap pandangan umum mengenai bagaimanakah citra perempuan di era emansipasi dan sesudahnya.
Sejarah wacana keadilan gender di Indonesia telah berdenyut sejak lama. Ironisnya cana tersebut nampaknya berjalan di tempat. Wanita Indonesia secara general terutama di tingkat masyarakat bawah mengalami diskriminasi, ketidakadilan, bahkan penindasan. Sejauh ini masih belum ada tanda-tanda yang memperlihatkan perubahan yang signifikan dalam relasi sosial antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.
Wanita Indonesia dalam bidang pendidikan dan kebudayaan pada tahun 2000 menurut Arivia (2003:62), di samping memainkan peran ganda sebagai istri, ibu, ahli profesional, pencari nafkah, pendidik, teman putra-putrinya, akan tetapi dihargai dan diakui bila dapat memberikan sekaligus memperoleh pemenuhan kebutuhan kasih sayang, rasa aman dan perlindungan untuk dapat menghidupi dan memberikan keturunan sesuai kemampuan yang apa adanya.
Nawal El Sadaawi (2003) dalam sebuah pengantar bukunya menuliskan, perempuan bukanlah makhluk yang lemah kualitas akalnya dibanding laki-laki, sebagaimana yang diyakini banyak orang. Bahkan sejarah menunjukkan kepada kita bahwa wanita lebih dulu berpikir dengan akalnya daripada laki-laki, ilmu pengetahuan di dalam sejarah kemanusiaan. Dewa pertama pengetahuan adalah Euzeus sedang sebelumnya adalah Hawa.
Spesifikasi perempuan Indonesia yakni perempuan Jawa yang mumpuni (seyogyanya) digambarkan sebagai perempuan yang pendiam, pemalu, penurut, sopan santun, dan lemah lembut. Gambaran semacam ini membuat perempuan Jawa kehilangan kebebasan berkreasi dan mengembangkan kemampuannya sehingga potensi diri mereka terpendam. Sayangnya tidak semua perempuan menanggapi fenomena itu sebagai kondisi negatif yang merugikan. Sebagian justru menikmatinya, mereka merayakan ketergantungan itu adalah pengabdian, yang diberikan sebagai perempuan (Budi,1992:26).
Tokoh emansipasi perempuan Indonesia, R.A. Kartini dalam suratnya yang diperuntukkan bagi temannya berkebangsaan Belanda, Stella Zeehandelaar pada 23 Agustus 1900 menuliskan; Yang pertama dan utama, aku akan menghapus adat kebiasaan buruk yang lebih memihak anak laki-laki daripada anak perempuan. Kita tidak seharusnya terkejut akan sifat laki-laki yang memikirkan diri sendiri saat kita menyadari bagaimana sejak kecil dia sudah dimenangkan dari perempuan, yang sudah semenjak masa kanak-kanaknya laki-laki sudah diajari untuk merendahkan perempuan (Toer, 2003:27).
1.2.3 Wanita dalam Sastra Novel
Pembahasan mengenai posisi dan peran wanita dalam sastra novel terbagi dua, yaitu wanita sebagai penulis novel serta wanita sebagai tokoh dalam novel itu sendiri. Hal ini kian menjelaskan bahwa wanita hadir sebagai pelaku sastra sekaligus pelakonnya, terlepas dari asumsi dan tendensi yang kerap muncul mengenai penulis karya sastra dan isi yang dihasilkannya yang kemudian membentuk citra wanita dalam dunia sastra terkesan tidak serta merta dapat diterima karena kenyataan membuktikan bahwa penulis wanita mempunyai apresiasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Ayu Utami seorang penulis novel Indonesia mengungkapkan bahwa dunia sastra adalah dunia keakuan yang memberikan gairah untuk hidup, tulisan adalah inspirasi terbesar, melalui keutuhan sastra mewadahi perempuan secara fisik, kognitif, emosional, maupun spiritual. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya (Jurnal Perempuan, 2003:41).
Tetapi ada realitas yang sulit dibantah yaitu dunia yang kita huni ini adalah dunia yang mewarisi tradisi masyarakat patriarki selama berabad-abad. Selama itu pula kekuasaan pribadi perempuan dikerdilkan dan terpinggirkan. Termasuk dalam sastra, perempuan kerap termarginalkan . sedangkan, pada penulis pria seperti tak berbatas. Hal ini didukung pula dengan lingkungan yang riwayat sejarah budayanya memposisikan perempuan sebagai makhluk beyond. Pada tahapan tertentu, hal ini merupakan penghambat yang crucial bagi beberapa penulis perempuan (Loekito, 2003:65).
Perihal utama bukanlah semata-mata menanyakan apakah penulis perempuan itu, lebih kepada pertanyaan akan menjadi apakah hasil pemikirannya. Kemudian menghitung bagaimana hal itu diterima. Ada dua cara untuk mengerjakan hal itu: pertama dengan mempelajari segala penerimaan buku-buku hasil tulisan perempuan dan kedua adalah dengan melakukan empirisme mengenai bagaimana anggapan orang tentang sebuah tulisan jika jenis kelamin dari pengarang adalah perempuan (Ruthven, 2001:110).
1.2.4 Feminisme
Analisa gender sebagai alat transformasi hak-hak perempuan umumnya dipergunakan oleh penganut aliran ilmu sosial konflik yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh pembedaan jenis kelamin. Diskursus mengenai gender tidak bisa terlepas dari pengklasifikasian antara seks dan gender. Seks (jenis kelamin) merupakan perbedaan biologis yang bersifat kodrat Tuhan. Karenanya secara permanen berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial, yakni pembedaan yang bukan kodrat, melainkan dibentuk oleh kaum laki-laki ataupun perempuan melalui proses sosial dan budaya yang sangat panjang (Fakih, 2001:6).
Feminisme adalah gerakan yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas, oleh karena itu harus ada upaya mengakhirinya. Dengan demikian, feminisme bukanlah selalu perjuangan emansipasi perempuan terhadap kaum laki-laki melainkan terbagi dalam berbagai perjuangan untuk transformasi sistem dan struktur yang adil bagi laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial, yaitu pembedaan yang bukan kodrat, melainkan dibentuk oleh kaum laki-laki ataupun perempuan melalui proses sosial dan budaya yang sangat panjang (Fakih,2001: 6).
Feminisme adalah gerakan yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas, oleh karena itu ada upaya untuk mengakhirinya. Dengan demikian, feminisme bukanlah selalu perjuangan emansipasi perempuan terhadap kaum laki-laki melainkan terbagi dalam berbagai perjuangan untuk transformasi sistem dan struktur yang adil bagi laki-laki dan perempuan. Dalam perkembangannya aliran feminisme melahirkan wajah baru yang sesuai dengan kepentingan serta konflik yang ada.
Istilah feminisme pertama kali digunakan di dalam litelatur Barat baru pada abad ke-18, yang secara tegas menuntut kesetaraan hukum dan politik antara perempuan dan laki-laki. Istilah ini masih terus diperdebatkan, namun secara umum biasa dipakai untuk menggambarkan ketimpangan gender, subordinasi, dan penindasan terhadap perempuan (Bryson dalam Arivia, 2005:11).
1.2.5 Kritik Sastra Feminis
Istilah gynocryticsm atau ginokritik disebut juga kritik sastra perempuan yang mengkaji penulis-penulis wanita, oleh Elaini Showalter dan sebagai revision oleh Andriana Rich. Ragam itu termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, rima, genre, dan struktur tulisan perempuan dalam semua aspek produksi, motivasi psikologi, analisis, dan integritas, termasuk juga dalam jurnal dan surat.di samping itu, dikaji juga tentang kreativitas penulis perempuan sabagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan pengaturan tradisi penulis perempuan.
Kritik feminis terhadap sebuah karya dengan mempelajari ideologi dan budaya yang berinteraksi dengan gerakan kontemporer untuk kebebasan dan persamaan sosial, ekonomi, dan budaya perempuan. Jadi, feminisme adalah usaha egalisasi gender yang terbuka bagi gender laki-laki maupun perempuan. Kritik sastra feminis merupakan tinjauan perjuangan egalisasi (persamaan) gender dalam sastra. Perjuangan itu bisa saja ditulis oleh laki-laki maupun perempuan asalkan mempunyai sense of feminism yang termaksud dalam ragam sastra feminis (Djajanegara, 2000: 28). Kritik feminisme adalah usaha egalisasi gender yeng terbuka bagi laki-laki maupun perempuan yang berdasar pada ideologi dan budaya yang berpusat pada perempuan (Women Contered).
1.2.6 Kajian Sosiofeminis dalam Teks Sastra (Novel)
Dalam kajian sosiofeminis Ruthven menegaskan cakupan teks sastra, meliputi perempuan secara subtanstif dipengaruhi ideologi yang membentuk relevansi cerita fiktif dengan realitas agar perempuan mempelajari hal apa yang sejatinya dilakukan. Dengan demikian sastra sebagai media akan mampu membawa perubahan pada lingkup sosial di masyarakat pada kehidupan di luar rekayasa cerita. Sehingga sastra sebagai media merupakan bentuk kontempelasi dan pengendapan pengalaman batin yang terdalam guna mengapresiasikan segala bentuk ide, yaitu menanggapi persoalan perempuan dalam realitas kondisi masyarakat direspon secara imaginatif dan konseptual dalam sebentuk teks sastra (Ruthven, 2005:167-168).
Seperti halnya dalam definisi umum tentang feminisme, maka kajian sosiofeminis cenderung merujuk pada pandangan esensial, yakni segala sesuatu mengenai perempuan berspektif sosial. Yaitu wacana teks sastra yang menyoal perempuan meliputi fisiologis, psikologis dan seksiologis. Dalam novel Harga Seorang Wanita menampilkan eksistensi perempuan berlatar pendidikan yang rendah dengan standarisasi ekonomi yang rendah (miskin) sehingga rentan terjadi resistensi ketidakadilan.
II Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif maksudnya adalah penggambaran atau penyajian data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai data yang terdapat dalam buku novel Harga Seorang Wanita karya Februana.
Metode kualitatif dipakai untuk menganalisis konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian tanpa menggunakan prinsip-prinsip statistik tetapi berpedoman pada teori-teori sastra yang ada kaitannya dengan kritik feminis khususnya kajian sosiofeminis. Karena objek kajiannya berupa novel Harga Seorang Wanita karya Februana termasuk dalam penelitian kepustkaan.
III Hasil dan Pembahasan Penelitian
3.1 Struktur Cerita Novel Harga Seorang Wanita
Novel Harga Seorang Wanita terdiri dari dua belas bagian dan setiap bagian dipisahkan serta dibentukn oleh beberapa sekuen yang menjelaskan kronologis dengan tipe alur flash back (kilas-balik). Secara singkat novel ini terbagi dalam lima episode. Episode pertama diawali dengan suasana di sebuah ruangan penjara (bagian 1,8, 10, dan 11) yang berlanjut pada episode kedua yaitu pengambilan kisah yang berlatar kondisi geografis Gunung Kidul dan beberapa lokasi lain di Yogyakarta disertai tipikal masyarakatnya (bagian 2,3, dan 4), ketiga penggambaran suasana rumah tangga tokoh utama (bagian 3, 5, 6, 7, dan 8)., keempat deskripsi tentang babak baru kehidupan tokoh yang kontradiktif yakni berlatar tempat di sebuah panti pijat )bagian 6, 7, dan 8), dan episode kelima menjadi babak akhir (anti klimaks), dengan metode penceritaan yang beralur kilas-balik maka episode penutup berlatar suasana sidang di pengadilan, di penjara, kemudian pembebasan (bagian 9, 10, 11, dan 12).
3.2 Wanita Dalam Novel Harga Seorang Wanita
Pengarang novel Harga Seorang Wanita, Februana adalah laki-laki kelahiran kota Batu 4 Februari 1967 menuliskan kisah fiksi yang lahir dari kehidupan nyata. Februana melihat gejala-gejala patriarki di tanah Jawa dengan implikasi yang dimunculkannya, di antaranya lahirnya tindakan diskriminasi terhadap kaum wanita dan mewacanakannya dalam bentuk kisah dalam novel ke empatnya ini.
Wanita di Ruang Domestik
Dalam berbagai strata sosial, wanita di ruang domestik senantiasa diposisikan sebagai pemeran utama dalam urusan domestik. Meskipun ada beberapa contoh kecil yang menampilkan wujud wanita dengan bingkai berbeda, yakni wanita independen yang memiliki kebebasan menentukan dirinya sendiri. Contoh seperti ini biasa terjadi di kota-kota besar dengan standar berpikir maju. Namun bagi masyarakat yang termarginalkan masih memberlakukan domestifikasi peran tunggal pada kaum wanita.
Terdapat kecenderungan memposisikan peran domestik pada kaum wanita, yaitu inferioritas peran, seperti urusan rumah tangga adalah sepenuhnya tugas dan tanggung jawab wanita. Ada yang keliru dalam paradigma sosial di masyarakat kita yang beranggapan bahwa dengan menjadi ibu rumah tangga maka domestifikasi peran akan setara dengan peran laki-laki di area publik. Padahal efek dari penerjemahan yang keliru tersebut adalah sebagai kepala keluarga yang memegang kekuasaan ekonomi, maka anak-anak akan lebih menghormati dan mengakui eksistensi ayahnya daripada ibunya, meski sepanjang pertumbuhan anak lebih banyak diurusi oleh ibu. Inilah alasan mengapa hubungan ibu dan anaknya secara intim terpengaruhi oleh bagaimana istri bertahan dengan suaminya (Beauvoir, 2003: 362).
Wanita secara Individu
Tini sebagai tokoh utama perempuan yang dikisahkan, secara psikis merupakan ekspresi perempuan yang kerap menyimpan perasaannya dan cenderung tidak ingin menyusahkan hati orang lain dan merasa bahwa mencintai dan disintai adalah hak individu. Meskipun pada akhirnya perasaan tersebut harus pupus karena kenyataan perih yang tak terduga. Selang beberapa tahun usia pernikahan Tini dan Jono, mulailah terjadi perubahan perangai Jono. Hingga pada kondisi yang terjepit sebab lintah darat tempat mereka meinjam uang dengan menggadaikan sepetak ladang satu-satunya yang tersisa, Jono bertemu Parman dan menawarkan bantuan uang sebesar sepuluh juta, namun dengan catatan Tini istri Jono harus bekerja di panti pijat milik Parman di Yogyakarta. Tini masih belum siap mengungkapkan fakta yang sebenarnya, bahwa kepergiannya untuk bekerja di kota adalah untuk menjadi tukang pijit di panti milik Parman.
Pembahasan mengenai aspek psikis perempuan akan menggiring kita pada pemahaman bahwa eksistensi perempuan terbentuk oleh beragam faktor, temasuk di dalamnya aturan-aturan, tata nilai, norma, adat dan budaya masyarakat merupakan peran penting selain bahwa perempuan itu sendiri adalah makhluk psikologis, makhluk berpikir, berperasaan, dan beraspirasi (Sugihastuti, 2000:95).
Ideologi yang Membentuk Potret Wanita dalam Novel Harga Seorang Wanita
Ideologi adalah kumpulan keyakinan-keyakinan yang dirasionalkan dan disistematikan, yang mencerminkan situasi masyarakat pemiliknya. Menurut kaum feminis, ideologi merupakan pantulan dari situasi kelas-kelas yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan dalam doktrin-doktrin yang dirumuskan dalam sosial kemasyarakatan.
Novel karangan Februana ini menyuguhkan kisah dengan pengaruh patriarkisme yang membentuk penceritaan kisahnya. Merujuk pada kualitas dari budaya patriarkis yang merupakan refleksi dari tatanan masyarakat Jawa. Novel ini pun berupaya menampilkan konstruksi tersebut sebagai kesatuan pesan, yakni ada sebuah wilayah pergulatan dan perlawanan fisiologi dan psikologis dari tokoh wanitanya. Sistem patriarki yang bersifat paternalistik masih membelenggu kaum perempuan. Bahkan kalangan konservatif menganggap ketidaksetaraan antara lelaki dengan wanita secara sosial maupun hukum adalah takdir Tuhan. Sistem kekuasaan yang ada memiliki ciri laki-laki yang memiliki otoritas untuk menguasai dan mendominasi kehidupan perempuan di segala bidang, baik politik, ekonomi, maupun agama, dan sosial.
Ada beberapa aspek yang menjadi penunjang dari patriarkisme dalam novel tersebut, antara lain:
1. Aspek Sosial Budaya
Masyarakat Jawa pada umumnya meyakini bahwa laki-laki lebih layak dan unggul berada di atas dan mendominasi semua kepentingan-kepentingan sosial kemasyarakatan. Hal ini dapat ditelaah sebagaimana Februana dengan lugas merepresentasikan bentuk kisah fiksinya sebagai refleksi dari tatanan budaya Jawa yang dirasakan masih sarat dengan sistem paternalistiknya.
2. Aspek Ekonomi
Cerita dalam novel Harga Seorang Wanita adalah buah pikir dari pengarangnya. Kurang lebih berdasarkan pengalamannya sendiri dengan merasakan atau justru melihat kenyataan yang terjadi disekelilingnya. Kisah yang sejujurnya menggambarkan sebuah tanda bagaimana kultur patriarki berakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di masyarakat Jawa. Posisi perempuan senantiasa diragukan bahkan dianggap sebagai mahkluk pilihan kedua. Karya sastrapun tak ayal melihat semua gejala tersebut kemudian menyuguhkannya dalam bentuk fiksionasi.
Ketika pada gilirannya kisah rekaan itu digiring dalam kehidupan nyata maka ada banyak contoh kekerasan pada perempuan menyangkut persoalan ekonomi yang muncul dari kemiskinan dan harus dibebankan terhadap perempuan. Tak terkecuali jika harus menjual perempuan tersebut demi sejumlah iming-iming materi dan penghidupan yang layak. Tanpa meninjau lebih dekat kondisi jiwa perempuan itu yang pada dasarnya tidak menerima bahkan menolak keras hal tersebut.
3. Aspek Pendidikan
Nampaknya problem dari maraknya kekerasan terhadap kaum perempuan adalah karena juga ketidakmampuan mereka mencerna berbagai bentuk tindak diskriminasi sebagai ketimpangan hak-hak kemanusiaan. Hal itu dikarenakan tingkat pendidikan yang kurang memadai sehingga menutup akses berpikir perempuan itu sendiri untuk berontak. Demikian yang tergambar dari penokohan seorang Tini karena kemiskinan dan latar belakang ekonomi keluarga yang mencukupi, menjadikannnya lemah dan tak berdaya melawan pembodohan akan dirinya.
Februana menciptakan tokoh Tini sebagai “manusia perempuan” dan bukan sekedar “konsep” mengenai bagimana seharusnya menjadi perempuan. Tokoh yang berjalan menapaki realitas sosial yang sangat realistis. Menghadapi tekanan dan berbagai bentuk karakter tandingan dalam novel tersebut. Novel ini menggambarkan keperihan perempuan pelosok yang kurang berpendidikan dalam kehidupan rumah tangga, bersosialisasi, hukum, dan seksual. Realitas ini disampaikan dengan bagus dalam berbagai ilustrasi dan dialog yang membentuk sebuah teks sastra fiksi.
Kesimpulan
Sekilas novel ini memberikan pengetahuan dan informasi mengenai situasi budaya yang berlatarkan dunia patriarki di sebuah daerah di Wonosari-Gunung Kidul Yogyakarta, dengan tatanan serta tradisi yang unik. Februana tidak sekedar menyajikan kisal jual-beli perempuan semata. Tetapi juga menyuguhkan beragam polemik yang terwacanakan lewat kisah biografi perempuan korban ketidakadilan gender.
Bukan hanya penebar kata-kata, namun novel ini serta merta menegaskan keberpihakan penulisnya terhadap kaum perempuan yang tersingkir karena kelemahan fisik dan ekonomi. Kemudian menggelarkan segala bentu tekanan sebagai implikasi dari budaya patriarkis dan dominasi laki-laki yang implusif dan cenderung egois serta sangat merugikan perempuan.
Dapat disimpulkan bahwa (1) patriarkisme ditempatkan sebagai akar penindasan wanita dalam novel Harga Seorang wanita, (2) cara pandang paternalistik yang tidak berkeadilan inidisuguhkan Februana sebagai sumber lahirnya polemik dan konflik pada novelnya, (3) ada faktor lain yang menunjang lahirnya patriarkisme dan subordinasi terhadap tokoh wanita yaitu sosial budaya, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan, (4) kaum wanita perlu dibekali dengan bebagai bentuk penyadaran akan esensi dirinya agar wanita dapat menggali potensi dirinya agar tidak selalu direpresi oleh dominasi laki-laki, (5) novel ini layak dianalisis berdasarkan kajian sosiofeminis karena memiliki cakupan yang representatif dalam menggambarkan tokoh wanita dan persoalannya dengan ideologi yang membentuk penggambaran tersebut gejala sehingga dapat disimpulkan bagaimana seharusnya bertindak berdasarkan penggambaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Mariana. 2003. “Sex And Tex (Sext): Konsep Pembebasan Seksualitas Perempuan Lewat Sastra” dalam Jurnal Perempuan Edisi 30/2003. Jakarta: YPJ.
APIK, LBH dan Ford Fondation. 1999. Perisai Perempuan (Kesepakatan Internasional Untuk Perlindungan Perempuan). Jakarta: LBH APIK.
Februana. 2006. Harga Seorang Wanita. Jakarta: Destan Books.
Djajanegara, Soehardjati. 2000. Kritik Sastra Feminis-sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Best Way to Play Baccarat Online for Real Money in 2021
BalasHapusBaccarat online is a fantastic way to learn how to play online casino games 안전 바카라 사이트 at online casinos that provide players with an enjoyable experience.